Senin, 18 Februari 2013

Indonesia :)

Man! Indonesia subur sekali! Seenggaknya itu yang aku tau dari tanah di desaku. Tepatnya di rumah tempat aku dibesarkan. Tempat aku maen adonan spesial dari tanah campur air diencerkan, yang aku cetak sesuai keinginan, dijemur sendiri di bawah terik matahari. Diangkat sendiri. Ceritanya bikin biskuit.
Ah udah ngelanturnya.
Coba kalau bukan subur ini namanya apa?
Tomat yang udah terlalu mateng, akhirnya harus dibuang karena hampir busuk. Beberapa hari kemudian muncul tunas, makin gede makin gede jadi pohon tomat.
Di ujung sumur, dekat tempat cuci piring, tumbuh pohon cabe rawit. Buah lebat. Entah dari mana asalnya, siapa yang menanam nggak ada yang tau.
Begitu juga dengan pisang dan pepaya. Mereka muncul begitu saja. Di halaman samping, di belakang rumah pinggir kali. Awalnya mereka kecil. Tau-tau tumbuh menjulang. Penuh buah sana-sini. Si pisang ini bahkan terus beranak pinak. Induk selesai berbuah, ditebang. Anaknya menggantikan. Begitu seterusnya. Ah aku ingat betul. Pisang putri yang di samping sumur itu pun luar biasa. Buahnya kecil memang. Tapi pas sekali untuk ukuran perutku yang masih kecil waktu itu. Tak habis-habisnya dia berbuah. Sampai-sampai kami eneg. Sampai-sampai bue bawa pisang itu ke sekolah. Jadi 'jamenan' guru-guru dan penjaga sekolah teman bue.
Pernah aku iseng. Nanem ubi jalar alias telo rambat. Kelamaan nggak dimasak jadi keluar tunas muda. Penasaran. Aku pendem. Asal pendem. Daunnya memang luar biasa merambat sana sini. Tapi pas diliat lagi, umbinya hilang tak berbekas. Aku kecewa sekali. Haha. Eksperimen gagal.
Jahe. Kunyit. Laos. Musim hujan. Bue asal taruh mereka semua itu di pojokan dapur. Saat itu rumah masih berlantaikan tanah. Beberapa hari kemudian, tumbuh tunas. Dipindah ke luar. Makin subur mereka. Tumbuh patuh bergerombol. Jadi kalau butuh tinggal ambil.
Musim hujan. Sering muncul jamur di mana-mana. Lantai masih tanah. Di ruang tamu, di teras, tiba-tiba mereka muncul. Muncul satu-satu. Besar, lebar, putih bersih. Kata bue itu bisa dimakan. Enak. Dan memang benar masakan bue selalu enak.
Jamur lain muncul di batang kayu. Warna coklat, agak kecil dibanding si putih. Teksturnya kaku, tak tampak di mana dia menyimpan kotak spora. Sedangkan si putih lembut dan kentara ruas sporanya. Kami menyebut si coklat jamur kuping karena memang bentuknya mirip kuping. Jamur kuping ini juga enak. Rejeki kami bertambah tiap musim hujan.
Jeruk. Iya jeruk. Bukan jeruk yang buat dimakan tapi. Jeruk yang ini untuk dimasak. Daunnya, buahnya. Itu, yang daunnya wangi, buahnya kecil-kecil warna ijo tua. Nama jeruknya apa? Nggak inget.
Di sebelah jeruk adalah nanas! Aku yakin itu nanas. Walau aku terlalu kecil dan ingatanku terbatas. Tapi itu adalah nanas.
Di sebelahnya lagi jambu. Jambu lumut kalo kata mbak risa. Warnanya ijo muda. Aku suka main bunganya yang putih berserakan di bawah pohonnya.
Di seberangnya adalah matoa. Nggak banyak orang indonesia yang tau apa itu matoa. Aku termasuk yang beruntung bisa makan sepuasnya saat musimnya tiba. Buah favorit.
Di belakang rumah dan di samping rumah, di depan pintu, ada srikaya atau nongkolondo. Ini juga favorit. Rasanya asem-asem manis. Bunganya juga unik. Pas masih muda warna hijau, makin tua makin kuning. Bentuknya mirip bintang dan bisa dikupas satu-satu. Sering aku iseng ambil bunganya. Kalau ketahuan bue, langsung dimarahi. Kalau kamu ambil bunganya, kamu nggak bisa makan buahnya kata beliau. Aku masih belum mengerti saat itu.
Rambutan. Di samping dan di depan rumah. Ini favorit juga. Rambutan yg jenis rapia? Yang manis itu merah bgt, daging buahnya tebel bijinya kecil.
Mangga. Di depan, samping, belakang rumah.
Belimbing. Di depan halaman sebelah barat.
Nangka. Di halaman depan sebelah timur. Saking seringnya berbuah sampai sering pula kami harus sakit perut karena kebanyakan makan nangka.
Kelapa ijo. Halaman depan barat. Mau yang seger-seger pas panas? Nggak perlu jajan es. Pae siap ngambilin kelapa langsung dari pohonnya. Mau sedikit gaya, tambahkan sirup.
Kelapa kecil-kecil warna oranye yang terus kecil walau berbuah. Di halaman depan, sebelah timur dekat undakan.
Pete. Halaman samping timur. Dulu tanah itu belum dijual. Aku suka main kembang pete siang-siang. Aku preteli, aku tabur ke tanah seolah-olah mereka adalah bintang-bintang yang jatuh dari langit. Haha. Khayalan anak kecil selalu hebat. Tapi sampe sekarang aku nggak bisa makan pete.
Dondong! Di sebelah kelapa kecil oranye. Sering aku liat orang-orang makan dondong. Tapi aku nggak suka. Terlalu asem menurutku.
Jambu air atau jambu wer. Jambu kecil-kecil warna pink atau merah. Di halaman depan sebelah timur.
Hobiku dulu: pindah-pindah taneman. Tadinya di halaman barat, aku cabut, pindah tanem lagi ke timur. Begitu terus sebaliknya. Dan mereka baik-baik saja. Nggak mati. Atau petik batang bunga apalah itu, tancepin. Tumbuh lagi.
Kamu sebut apa ini kalau bukan subur?
Sekarang udah banyak pohon yang hilang atau atau sengaja dihilangkan. Tapi mereka tetap ada di sana. Bareng-bareng sama memoriku.
Dulu halamannya luas banget. Sekarang kalo diliat lagi kok sempit yak.
Gimana ya dulu bisa muat matoa, jambu, mangga, pisang, jeruk, nanas, kelapa di halaman yang seuplik gitu di bagian barat. Hmmm.
Ada lagi. Sawit. Dibawa lek adi langsung dari kalimantan. Dulu ada banyak tapi dikasih ke orang-orang. Sekarang tinggal sedikit yang nyisa. Belum pernah liat mereka berbuah sih. Kalau bunga sering.
Ada buah favorit yang pengen punya pohonnya tapi belum kesampaian. Manggis. Daerah aku tinggal kurang tinggi. Kurang gunung. Nggak cocok untuk manggis. Sayang banget.

Aku bukan orang kaya. Aku cuma wong ndeso.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar